ORANG BILANG KAMI CACAT MENTAL

Kalian tahu tentang tokoh-tokoh berpengaruh di dunia, Para ilmuwan, penguasa terbaik, sastrawan masyhur, pelukis terkenal bahkan tokoh-tokoh yang sering tampil di layar lebar? Dengan sangat percaya diri saya dapat mengatakan “ya kalian banyak mengetahui tentang mereka bahkan mengidolakannya”, tapi tahukah kalian bahwa mereka hanyalah manusia yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tokoh yang kalian agungkan dan kalian idolakan itu hanyalah satu corak yang mewarnai dunia. Beberapa di antara kita meniru cara berpakaiannya, cara berbicaranya, model rambutnya, parfum yang mereka gunakan, bahkan pakaian dalam yang kalian gunakan meniru yang digunakan tokoh yang kalian idolakan. Namun kalau dugaan saya benar, maka saya dapat mengatakan bahwa anda tidak mempunyai jati diri. Satu hal yang perlu di garis bawahi bahwa anda adalah anda tidak mungkin menjadi mereka, sesempurna apapun kalian mencoba menyerupainya, karena anda akan tetap berada di belakang dan tidak mungkin melampauinya.

Mungkin kalian pernah mendengar atau bahkan melihat orang-orang yang tingkah dan lakunya menyimpang dari keadaan normal manusia pada umumnya. Orang-orang dengan perawakan yang acak-acakan, tidak terurus, pakaian compang-camping, berkeliaran dengan asesoris yang sangat jauh dari kata mewah, dan menyoraki serta memburu dan melempari orang tanpa alasan yang jelas. Saya meyakini bahwa kalian mengerti orang seperti apa yang saya maksudkan, tapi pernahkah salah seorang di antara kita menirunya, mulai dari cara berpakaian sampai semua hal yang anda modifikasi pada diri anda seperti tokoh yang anda idolakan. Ketika ditanya demikian saya lebih yakin lagi bahwa kita pada umumnya akan berkata “amit-amit, ogah, najis, dan seterusnya”. Namun saya ingin bercerita kepada kalian tentang kelompok kecil yang kami sebut sebagai kelompok orang-orang cacat mental.

Hanya beberapa orang dengan dengan pemikiran yang sangat kontras dengan pemikiran pemuda-pemuda seusianya. Sibuk dengan tren mode zaman sekarang, mendatangi tempat-tempat nongkrong yang sedang populer, berbincang-bincang menghabiskan waktu dalam desakan zaman, berkeliaran mengurusi pasangan lawan jenis, beraktifitas pagi hingga siang, beristirahat siang hingga sore, bercanda selebihnya dan tidur ketika malam kemudian terbangun keesokan harinya, itu yang sering kujumpai dalam keseharian pemuda-pemuda masa kini. Lain halnya dengan mereka, mereka dalam komunitasnya cenderung terpisah dari kehidupan yang demikian. Kehidupan seperti idealnya dilakukan orang-orang yang katanya kekinian bisa dikata hanya omong kosong bagi mereka. Semua kenyataan yang kita saksikan hari ini, mereka terobos dengan kegilaan pemikiran mereka. Menerobos semua kebiasaan orang orang agar berbeda dengan yang lainnya, karena mereka ingin menjadi diri sendiri.

Hari ini kita yang menjalani, besok pun tetap kita yang jalani,  lalu kenapa kita yang harus mengikuti rencana hidup orang lain. Tidakkah kita mampu merencanakan kehidupan kita sendiri, sesuai kemampuan kita yang akan menjalaninya, dan sesuai dengan cita-cita bahagia yang kita harapkan. Mungkin demikian mereka akan menjawab jika kita tanyakan mengapa mereka menempatkan diri sebagai warna lain dalam keberagaman kehidupan manusia.

Hidup dengan keterbatasan, baik dalam tinjauan fasilitas, maupun dari tinjauan ekonomi, namun keterbatasan itu malah menjadikan pemikiran mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan pribadi, golongan, bangsa, bahkan negaranya dengan melawan keterbatasan. Melawan keseragaman dengan logika terbuka karena pada dasarnya kita memang berbeda dan perbedaan bukan untuk memecah belah. “jika aku jadi kamu, jika dia jadi kamu, dan jika mereka jadi kamu, maka kamu akan jadi apa...?? tentu kamu akan jadi banyak; jika demikian, lalu bagaimana mereka akan mengenali kamu, aku, dia, dan mereka sementara kami bukanlah diri sendiri, karena kami adalah kamu. Lalu bagaimana pendapatmu? Haruskah kami sepertimu atau kamu yang seperti kami ataukah kita menjadi diri sendiri?”.

Yang kutahu, orang-orang di luar sana yang perawakannya acak-acakan, tidak terurus, pakaian compang-camping, berkeliaran dengan asesoris yang sangat jauh dari kata mewah, dan menyoraki serta memburu dan melempari orang tanpa alasan yang jelas, dan lain sebagainya, dianggap cacat mental atau gila karena cara mereka menjalani kesehariannya menyimpang jauh dari kebenaran yang diyakini kebanyakan orang saat ini. Jika terjemahan sederhana dari istilah gila atau cacat mental memang sesederhana itu, dan jika memang gila hanya ditafsirkan sebagai penyimpangan tingkah dan laku maka aku dan orang-orang dalam komunitasku adalah orang-orang yang gila atau kami adalah anggota komunitas yang cacat mental.

Aku merasa bangga jika kalian anggap sebagai orang-orang yang cacat mental jika memang begitu tafsirannya. Setidaknya aku bebas mengekspresikan kehidupanku tanpa harus mengikuti kesewenang-wenangan sempitnya cara pandang dunia tentang kehidupan. Dan satu hal lagi yang kusukuri dengan kegilaan ini, karena kalian masih memperhatikanku. Terima kasih kawan karena kalian telah mengeluarkan tenaga berlebih untuk memperhatikan tingkah dan lakuku meski aku tidak pernah memedulikan kewarasan kalian.

Tapi kami sebenarnya tidak pernah merasa gila, dan kami memang tidak gila menurut pandangan orang-orang cacat mental lainnya. Hanya terkadang kami kasihan pada mereka yang menganggap kami gila, kau tahu kenapa? Simpan penasaranmu, izinkan aku mengutarakan beberapa kegilaan menurut kalian atau kewarasan menurut kami.

Saya yakin kalian mengetahui bagaimana sengitnya perebutan kursi presiden antara para mahasiswa. Beragam cara dilakukan untuk momen pesta demokrasi tersebut mulai dari perangkat lunak sampai menerjunkan perangkat keras untuk memperoleh suara puluhan ribu mahasiswa demi menjadi penguasa kampus. Namun hal menyimpang kembali kami lakukan untuk menjadi penguasa kampus. Tanpa mengeluarkan sedikit pun tenaga apalagi perangkat keras. Cukup bagi kami untuk mencari momen yang tidak dipikirkan orang lain untuk menguasai kampus, dan satu momen yang kami dapati yaitu momen lebaran idul fitri. Siapa yang menyangka kalau hari itu benar-benar menjadikan kami penguasa kampus, seakan kampus dan seisinya hanya milik kami, tanpa dibayangi sedikit pun kecemasan akibat teror dari pesaing lainnya. Betapa tidak, hari itu kami berkeliling menyambangi pesaing lain di fakultas bahkan sampai pada jurusan mereka masing-masing tetapi di seluruh tempat yang kami dapati hanya kebisuan dan tidak satu pun perangkat keras yang berani menghalangi tingkah yang sesuka dan seenak jidat kami walaupun kami hanya berdua. Kalian tahu mengapa? Itu karena hari raya idul fitri adalah hari libur nasional dan tak ada aktivitas di kampus selain aktivitas kami berdua. Kami adalah penguasa kampus.

Pada kesempatan yang lain kala logistik menjadi batasan bagi logika untuk beraksi dan yang tersisa hanya kantung hitam kecil berisi beberapa genggam beras untuk membunuh rasa lapar di tengah malam, tanpa sedikit pun kuah atau lauk yang menjadi pengiring butiran nasi menyeberangi kerongkongan, dan yang ada hanya beberapa biji cabai hijau, dan kami berhasil membungkam singa yang terus-terusan menggaung di Indonesia bagian tengah (Perut). Aku kembali ingin menanyakan pada kalian, jika saja kalian yang berada di posisi kami, apa fungsi cabai hijau dalam menemani acara santap malam kalian di tengah keterbatasan? Pertanyaan serupa pernah kutanyakan pada beberapa orang, dan jawabannya seragam mereka semua berkata bahwa cabai hijau sebagai penambah nafsu makan, kalau kalian bagaimana akan menjawabnya. Aku hanya bisa berkata bahwa semua itu hanyalah kalimat retoris untuk menipu keadaan. karena kenyataannya rasa pedas yang berpadu dengan nasi yang panas hanya akan membuat kita lebih cepat dalam mengunyah makanan. Apakah kalian masih menganggap kami cacat mental ataukah orang-orang yang pandai memanipulasi keadaan.

Sadar atau tidak kami pun mampu mempengaruhi psikologi kalian hanya karena pikiran tentang karakteristik orang gila yang tertanam di kepala kalian, dan kami senang memanfaatkan kenormalan kalian dengan kegilaan yang kalian berikan sebagai julukan bagi kami. Jika kalian juga adalah mahasiswa yang tinggal jauh dari keluarga, kalian pasti mengerti betapa pentingnya koneksi internet gratis, dan betapa menjengkelkannya jika koneksi internet tersebut sangat lambat. Untuk ke sekian kalinya aku bertanya pada kalian, apa yang akan kalian lakukan jika demikian? Tebakanku kalian hanya akan mengeluh, menggumam, bahkan meninggalkan tempat duduk kalian sembari berharap ketika kalian datang kembali maka koneksinya akan lebih baik “Eeee... belum tentu koneeee... (dialek Muna: belum tentu, dengan penekanan bahwa hal itu hampir tidak mungkin)”.

Suatu hari di area Free hotspot di lingkungan kampus saat malam hari, salah satu dari kami sedang duduk dengan komputer portabel di pangkuannya merasakan ketidakpuasan dengan lambatnya akses internet akibat banyaknya pengguna yang Online di area tersebut. Namun mengeluh bukanlah solusi, sebut saja Oman (nama samaran), meninggalkan lokasi yang menjadi pusat perkumpulan para Free Wi-Fi Hunter. Tak lama berselang Oman kembali datang dengan bertelanjang dada berteriak sekuat yang ia mampu sambil berkeliaran di sekitar kampus dengan tujuan yang tidak jelas, yang memaksa logika kalian untuk berpikir bahwa ia adalah orang yang kejiwaannya terganggu, kemudian memanipulasi rasa percaya diri kalian seolah-olah kalian sedang terancam kemudian meninggalkan lokasi tersebut. Tahukah kalian setelah semua yang menikmati lambatnya koneksi internet mengambil langkah seribu, Oman kembali mengenakan kaos oblong berwarna hitamnya dan duduk di tempat semula menikmati koneksi internet yang super lancar karena yang tersisa hanyalah dia. Pengguna tunggal. Dan untuk kesenian kalinya kami menertawakan kenormalan kalian.


Cacat mental atau tidak, kami tidak memedulikan itu. Kami tidak ingin membuat waktu kami sia-sia hanya untuk meladeni komentar kalian, karena yang terpenting bagi kami adalah asas manfaatnya. Persetan dengan penilaian kalian, yang jelas kami adalah manusia-manusia yang merdeka. Kuingatkan pada kalian, jika ingin memperoleh manfaat lebih, putar balik logika berpikir kalian, tinjau dari sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu kalian pun akan mendapatkan gelar baru yaitu orang-orang cacat mental seperti kami.

Ahwan H.A.K
Share on Google Plus

About PELOPOR LITERASI (PELITA)

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar