Disebuah ruang
sempit yang nampak seperti gudang penyimpanan barang, berserakan ide dan
gagasan yang meluap dari kepala-kepala yang jumlahnya hanya dapat dihitung
dengan jemari, bahkan Tampa jemari sekalipun. Hanya dengan kontras yang jelas
tergambar dari perbandingan luasan ruang dan jumlah kepala yang yang tersusun
poligon dengan susunan yang tidak berpola, mata mampu menerjemahkannya. Namun
satu hal yang pasti gagasan atau ide besar tidak selamanya lahir di lingkungan
serba nyaman dengan fasilitas yang memadai serta banyaknya kepala dengan ego
dan kepentingan yang heterogen. Justru perubahan besar kebanyakan lahir dari
keresahan-keresahan sekelompok kecil manusia yang berpikir untuk keluar dari
sempitnya sudut pandang yang membelenggu logika dan meluluh lantakkan gagasan
yang sebelumnya menawarkan keadilan yang tidak nyaman dan kenyamanan yang tidak
adil.
Berkaca dari
pergeseran arah pergerakan mahasiswa dekade belakangan yang sudah jauh berubah.
Kami merasa terpanggil untuk mengembalikan kejayaan pemuda seperti pada masa
kejayaan mahasiswa dulunya. namun melalui pergerakan yang lebih santun dan
bersifat ilmiah, yaitu pergerakan melalui karya tulis. Betapa tidak, pemuda
yang dulunya mendapatkan kepercayaan masyarakat melalui pergerakan dan
idealismenya, yang dulunya turun ke jalan-jalan ibukota untuk meneriakkan
aspirasinya dan teriakan tentang keresahan masyarakat yang merasakan keadilan
yang tidak nyaman, lambat laun idealismenya terbeli oleh segenggam rupiah dan
teriakan yang dulunya berdesar pada keresahan kini kebanyakan arahnya
ditentukan kalangan berduit dengan kepentingan politis untuk kenyamanan yang
tidak adil.
Hanya enam kepala
saja gagasan demi gagasan terus bersahutan dan menghiasi lembaran-lembaran
kertas putih dengan goresan tinta yang terangkum dari gagasan yang
kuterjemahkan dalam aksara. Saya, Bang Ansar, Ilham, Gamsir, Irham, dan Asrul
dipertemukan oleh keresahan yang sama tentang pergeseran budaya dikalangan
akademisi dalam bilik kumuh dan sempit. Kuantitas kami memang tidak besar
tetapi itu bukanlah hal yang terpenting. Yang terpenting adalah bagaimana
kuantitas yang kecil ini dapat menyatukan persepsi, visi dan misi dalam
melahirkan perubahan yang lebih baik kedepannya serta tetap konsisten menjaga
kebenaran yang kami sepakati sejak saat itu.
Dari lingkar
diskusi kecil sore itu kami memutuskan dan menyepakati visi dan misi bersama
demi kebudayaan yang lebih ilmiah. Gelas air mineral berisi ampas kopi dan
tumpukan kardus berisi buku menjadi saksi diskusi kecil yang berjalan hingga
senja mulai menghilang tertelan gelapnya malam. Seiring dengan peristiwa
munculnya dewi malam pada 14 Oktober 2016 itu kami berhasil menyalakan sebuah
pelita harapan untuk menerangi jalan jihad kami dalam menciptakan peradaban
baru dengan nuansa ilmiah.
Pelopor Literasi dengan
akronim PELITA. Begitulah kami memberi nama pada setitik cahaya kecil yang
tercipta dari latar belakang yang berbeda namun harapan kejayaan masa depan
yang sama. Yang terbersik dalam benak kami kala kami menyalakan pelita itu
adalah bagaimana menampung aspirasi pemuda dan menerangi jalan yang akan mereka
tempuh agar harapan yang mereka lahirkan tidak hanya sekedar lahir kemudian
meregang nyawa setelah kelahirannya. Melainkan mendewasakannya serta
mempersenjatai mereka dengan pena runcing, mereka mampu menumbangkan congkaknya
dunia dalam memandang keadilan. Dengan pena itu pula generasi bangsa ini dapat
menorehkan tinta emas pada masa depan peradaban bangsa ini.
Semoga kobaran api
dari pelita kecil ini mampu menyalakan pelita-pelita literasi dan kepenulisan
yang lain untuk membakar ketimpangan dengan dasar literasi dan gagasan
tertulis.
Kendari
20 Oktober 2016
Ahmad Kurniawan (Ahwan)
0 komentar:
Posting Komentar