PELITA HARAPAN (PERUBAHAN)



sumber gambar: https://thofaargi.files.wordpress.com/
Disebuah ruang sempit yang nampak seperti gudang penyimpanan barang, berserakan ide dan gagasan yang meluap dari kepala-kepala yang jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jemari, bahkan Tampa jemari sekalipun. Hanya dengan kontras yang jelas tergambar dari perbandingan luasan ruang dan jumlah kepala yang yang tersusun poligon dengan susunan yang tidak berpola, mata mampu menerjemahkannya. Namun satu hal yang pasti gagasan atau ide besar tidak selamanya lahir di lingkungan serba nyaman dengan fasilitas yang memadai serta banyaknya kepala dengan ego dan kepentingan yang heterogen. Justru perubahan besar kebanyakan lahir dari keresahan-keresahan sekelompok kecil manusia yang berpikir untuk keluar dari sempitnya sudut pandang yang membelenggu logika dan meluluh lantakkan gagasan yang sebelumnya menawarkan keadilan yang tidak nyaman dan kenyamanan yang tidak adil.
Berkaca dari pergeseran arah pergerakan mahasiswa dekade belakangan yang sudah jauh berubah. Kami merasa terpanggil untuk mengembalikan kejayaan pemuda seperti pada masa kejayaan mahasiswa dulunya. namun melalui pergerakan yang lebih santun dan bersifat ilmiah, yaitu pergerakan melalui karya tulis. Betapa tidak, pemuda yang dulunya mendapatkan kepercayaan masyarakat melalui pergerakan dan idealismenya, yang dulunya turun ke jalan-jalan ibukota untuk meneriakkan aspirasinya dan teriakan tentang keresahan masyarakat yang merasakan keadilan yang tidak nyaman, lambat laun idealismenya terbeli oleh segenggam rupiah dan teriakan yang dulunya berdesar pada keresahan kini kebanyakan arahnya ditentukan kalangan berduit dengan kepentingan politis untuk kenyamanan yang tidak adil.
Hanya enam kepala saja gagasan demi gagasan terus bersahutan dan menghiasi lembaran-lembaran kertas putih dengan goresan tinta yang terangkum dari gagasan yang kuterjemahkan dalam aksara. Saya, Bang Ansar, Ilham, Gamsir, Irham, dan Asrul dipertemukan oleh keresahan yang sama tentang pergeseran budaya dikalangan akademisi dalam bilik kumuh dan sempit. Kuantitas kami memang tidak besar tetapi itu bukanlah hal yang terpenting. Yang terpenting adalah bagaimana kuantitas yang kecil ini dapat menyatukan persepsi, visi dan misi dalam melahirkan perubahan yang lebih baik kedepannya serta tetap konsisten menjaga kebenaran yang kami sepakati sejak saat itu.
Dari lingkar diskusi kecil sore itu kami memutuskan dan menyepakati visi dan misi bersama demi kebudayaan yang lebih ilmiah. Gelas air mineral berisi ampas kopi dan tumpukan kardus berisi buku menjadi saksi diskusi kecil yang berjalan hingga senja mulai menghilang tertelan gelapnya malam. Seiring dengan peristiwa munculnya dewi malam pada 14 Oktober 2016 itu kami berhasil menyalakan sebuah pelita harapan untuk menerangi jalan jihad kami dalam menciptakan peradaban baru dengan nuansa ilmiah.
Pelopor Literasi dengan akronim PELITA. Begitulah kami memberi nama pada setitik cahaya kecil yang tercipta dari latar belakang yang berbeda namun harapan kejayaan masa depan yang sama. Yang terbersik dalam benak kami kala kami menyalakan pelita itu adalah bagaimana menampung aspirasi pemuda dan menerangi jalan yang akan mereka tempuh agar harapan yang mereka lahirkan tidak hanya sekedar lahir kemudian meregang nyawa setelah kelahirannya. Melainkan mendewasakannya serta mempersenjatai mereka dengan pena runcing, mereka mampu menumbangkan congkaknya dunia dalam memandang keadilan. Dengan pena itu pula generasi bangsa ini dapat menorehkan tinta emas pada masa depan peradaban bangsa ini.
Semoga kobaran api dari pelita kecil ini mampu menyalakan pelita-pelita literasi dan kepenulisan yang lain untuk membakar ketimpangan dengan dasar literasi dan gagasan tertulis.
Kendari 20 Oktober 2016
Ahmad Kurniawan (Ahwan)
Share on Google Plus

About PELOPOR LITERASI (PELITA)

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar