Akhirnya hari yang dinanti-nanti
telah tiba, hari ketika aku dan rekan-rekanku dapat kembali bercengkrama dengan
lingkungan sekolah, menyaksikan canda tawa masa putih abu-abu serta menatap
senyum gembira anak-anak yang sedang mengenyam pendidikan serta larut dalam
canda masa remaja. Walaupun sebenarnya tidak semua siswa yang bersekolah datang
dengan kemauan sendiri untuk menuntut pendidikan. Bahkan tak jarang dari mereka
yang datang hanya sekedar melarikan diri dari pekerjaan di rumah atau hanya
sekedar berkumpul dan bermain dengan teman-teman seusianya atau hanya enggan
disebut anak yang putus sekolah atau apapun alasannya. Namun sukurku karena
walaupun dengan alasan yang berbeda-beda aku tetap dapat sejenak menjadi saksi
kebahagiaan masa SMU dan sejenak bernostalgia dengan masa saat aku seperti
mereka.
Hari ini adalah hari keduaku di
sekolah, namun ini adalah kesempatan bertatap muka dengan siswa secara langsung
di dalam ruang kelas untuk pertama kalinya. Kalian tentu tahu bagaimana rasanya
ketika kita telah duduk di kelas bersama teman-teman yang sudah lama kita
kenal, dengan guru yang sama ketika kita pertama kali bersekolah, kemudian
hadir sesosok guru baru yang bertugas di sekolah kita, terlebih ia ditugaskan
di kelas kita. Kurang lebih begitu pula yang mereka rasakan siang itu kala
memasuki jam pelajaran kelima, aku yang memang ditugaskan di kelas mereka dan
Fatimah yang turut mendampingiku kala itu memasuki ruangan dengan 32 siswa di
dalamnya. Sejenak keriuhan di ruangan itu seolah terbungkam. Yang muncul dari
raut wajah mereka hanya gambaran tanya. “siapa mereka, dan mana Bu No?
(panggilan akrab mereka pada guru fisikanya)” kurang lebih begitu tanya di
benak mereka.
“ketua kelas tolong disiapkan
teman-temannya!” ujarku.
“bersiap, beri salam!” ucap salah
seorang siswa laki-laki dengan potongan rambut plontos.
“Assalamualaikum warohmatullahi
wabarakatu” ucap mereka bersama-sama.
“wa’alaikumussalam” jawabku
pelan.
Mencoba menjawab tanya di benak
remaja-remaja itu, aku memulai pembelajaran dengan kegiatan yang dianggap wajib
bagi seorang guru yang baru saja bertugas. tepat sekali, tatap muka siang itu
dimulai dengan perkenalan. Dengan tutur kata dan nada bahasa sesantun mungkin serta
sikap ramah yang kutahu, aku mulai menyebutkan nama, latar belakang pendidikan
serta pengalaman mengajarku selama bertugas setahun sebagai Sarjana Mendidik di
daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) di daerah pelosok Kalimantan. Namun
tidak lengkap rasanya kalau seorang guru hanya mengenalkan dirinya saja tanpa
mengenal anak-anaknya (peserta didik) satu persatu. Akupun mulai meminta mereka
menyebutkan asalnya berdasarkan nama yang tertera dalam map absensi merah yang
kupegang. Kusebutkan nama mereka satu demi satu hingga akhirnya aku merasa
kewalahan membacakan nama mereka yang rata-rata terdiri dari empat suku kata
dengan ejaan yang asing bagi lidahku. Takjarang siswa-siswalah yang menyebutkan
lanjutan namanya tatkala suku kata pertama telah kusebutkan.
Jam pelajaran telah kuhabiskan
seperempat bagiannya hanya untuk menjalin keakraban dengan mereka. Merasa cukup
dengan itu, aku pun melanjutkan kegiatan yang menjadi tanggung jawab seorang
pendidik. “untuk lebih mengenali karakter mereka dapat kulakukan di lain waktu,
tugas utamaku di sini harus segera kulaksanakan” pikirku.
Tanpa membuang waktu, kumulai
inti dari pembelajaran hari itu. Mulanya pembelajaran berlangsung kondusif dan
terkendali. Seiring berjalannya waktu, mulailah muncul suara-suara sumbang dari
bangku deretan belakang, kemudian suara-suara itu kian menggemuruh hingga
ruangan serasa diserbu gerombolan lebah madu yang pekakan pendengaran. Aku yang
saat itu menghadap ke papan tulis sembari menjelaskan konsep elastisitas bahan
mulai merasa terganggu dengan dengung yang tak berpola.
Kutarik nafasku dalam-dalam
kemudian kuhembuskan perlahan sembari memutar badan menatap mereka satu persatu
dari ujung ke ujung dalam sejenak diamku hingga pandangan mereka fokus
kepadaku. Masih dalam diamku, kuletakkan dua batang spidol yang kupegang di
atas mejaku kemudian mulai kuceritakan tentang budaya dan etika yang begitu
arif di pedalaman Kalimantan dengan tutur kata yang terdengar begitu idealis
menurut rekanku.
Kumulai ceritaku dengan
menggambarkan kondisi lokasi pengabdianku setahun silam. Tentang pelosok negeri
yang jauh dan tidak tersentuh oleh modernisasi, akses yang sulit serta komunikasi
yang hampir tidak ada. Singkat cerita mulai kugambarkan tentang siswa siswiku yang
datang ke sekolah bertelanjang kaki dan pakaian lusuh yang tidak lagi layak
digunakan menurut orang kota kebanyakan. Namun mereka tetap datang dengan
senyum dan tawa bahagia akrab bercanda di luar jam pelajaran dan serius serta
tekun saat jam pelajaran, dan yang terpenting mereka yang dinilai banyak orang
lebih primitif ternyata lebih beradab dibandingkan kebanyakan orang yang
katanya hidup dalam modernisasi.
Wajah mereka tertunduk nampak
menyesal dan malu pada diri sendiri, dibalik lengkapnya fasilitas yang mereka nikmati
tidak menjadikan mereka lebih baik dari orang yang di nilai tertinggal. Melihat
ekspresi mereka kuakhiri motivasiku dengan permohonan maaf karena terpaksa
membandingkan mereka dengan orang lain serta harapan bahwa mereka dapat
kubanggakan seperti kebanggaanku pada anak bangsa di ujung negeri yang pernah
kusambangi atau mereka dapat kubanggakan lebih dari siapapun yang pernah
kujumpai.
Jam belajar belum usai, kucairkan
lagi suasana kelas itu dengan sedikit guyonan hingga mereka dapat kembali fokus
dengan pelajaran. Kuhabiskan waktu pelajaran yang tersisa dengan melanjutkan
pembahasan materi yang telah kurencanakan siang itu. sukurku mereka dapat
kembali fokus dalam belajar hingga bel pergantian pelajaran menggema di area
sekolah dan di lubuk terdalam aku menaruh harap bahwa apa yang kulakukan hari
itu dapat memberi perubahan bagi mereka dan harmoni yang tercipta hari itu akan
tetap terjaga selamanya, hingga di penghujung tugasku aku dapat membusungkan
dada bercerita kepada dunia tentang kebanggaanku terhadap masa depan bangsa
yang sempat kudidik.
Ahwan H.A.K
0 komentar:
Posting Komentar