Tersayat Belati Politik

Tersayat Belati Politik
Matahari menggantung tepat ditengah-tengah langit kota bagaikan  bola api raksasa. Teriknya langsung menyentuh kulit  tanpa ada segumpal awan yang menghalangi. Debu dan asap knalpot kendaraan begitu menyesakkan napas. Di trotoar jalan, seorang laki-laki separuh baya dengan karung besar dipunggungnya berjalan pelan  dengan sendal swalow yang sudah menipis. Bekas luka yang memanjang terlihat jelas dikepalanya. Terkadang ia berhenti  sejenak untuk memungut botol-botol bekas air mineral yang dibuang sembarangan oleh pangendara sepeda motor  ataupun pejalan kaki. Seolah tak peduli dengan ramainya kendaraan, tiba-tiba ia menyebrang jalan tanpa menoleh kanan-kiri terlebih dahulu. Beberapa pengendara spontan membunyikan klakson, bahkan ada salah seorang pengendara langsung mengeluarkan kata-kata kotor. Laki-laki itu tetap berjalan, ia hanya mempercepat langkahnya, boleh dikatakan setengah berlari. Ia berhenti di tempat pembuangan sampah, lalu mengais-mengaisnya untuk mencari sampah-sampah plastik.
Laki-laki itu bernama Daming. Setiap hari ia selalu bekerja dari pagi sampai malam. Mengupulkan sampah-sampah plastik untuk ditukarkan dengan beberapa ribu rupiah demi menghidupi enam anaknya yang masih kecil-kecil.
Beberapa tahun yang lalu, selagi asik memunguti botol plastik ditrotoar jalan, Daming dikagetkan oleh suara seorang pemuda yang berdiri diatas mobil pick up yang  berjalan pelan. Pemuda itu mengenakan jas almamater kuning dengan mic ditangannya. Dibelakang  mobil,  terlihat sekelompok pemuda berjalan kaki membawa spanduk-spanduk. Sambil berjalan, mereka membagikan selebaran kepada pengguna jalan.
“Tangkap dan penjarakan Gubernur korup. Jangan biarkan rakyat menjadi pemulung dinegerinya sendiri,” pemuda diatas mobil berbicara dengan lantang. Suaranya bergema karena mic ditangannya tersambung pada sound system yang tersusun rapi diatas mobil.
Daming melongo. Profesinya yang hina disebut-sebut. Namun ia tak mengerti kata-kata pemuda itu. Beberapa pertanyaan berkelabat dikepalanya. Kenapa gubernur harus ditangkap dan dipenjarakan? Apa itu korup? Apakah ia menjadi pemulung karena Gubernur?.
“Gubernur yang memimpin negeri ini telah menghisap darah dan keringat rakyat. Membuat rakyat menderita. Bahkan rakyat harus mengais sampah hanya demi sesuap nasi. Padahal negeri ini memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah. Dikemanakan itu semua ? Apakah hanya untuk memuaskan keserakahan Gubernur?” Daming kembali dikagetkan oleh suara pemuda diatas mobil. Ia berusaha memaknai setiap kata dari pemuda tersebut. Yang ia tahu bahwa ia memang menderita. Jangankan makan enak, udara yang setiap hari dihirupnya saja berbau busuk. Sementara seringkali ia melihat rombongan Gubernur yang dikawal oleh Polantas melintasi jalanan kota memakai kendaraan dinas yang begitu mewah, entah mau kemana. Hanya menambah kemacetan jalan. Semakin membuat pengguna jalanan menderita.
Hati kecil Daming mulai berontak. “Saya harus mengikuti pemuda ini. Ia benar. Saya pasti menderita karena Gubernur. Semua janji yang diucapkannya ketika kampanye dulu sama sekali tidak tebukti”, pikirnya. Tanpa disadari, kakinya mulai mengikuti langkah rombongan para pemuda yang sedang berdemonstrasi itu. Ia juga ikut berteriak, “ Tangkap Gubernur. Saya menderita karena dia”.
Rombongan demonstran berhenti didepan Kantor Gubernur. Mereka berada disana selama dua jam. Beradu otot dengan rombongan polisi yang berbaris rapi membentuk pagar betis menghalangi aksi demonstran. Daming berada dibarisan paling depan. Beberapa kali pentungan polisi mengenai kepalanya. Ia tak gentar. “Dorong ! Dorong ! Satu, dua, tiga ! Dorong !”, teriaknya berapi-api. Barisan polisi terdesak. Kericuhan tak bisa dihindari. Aksi saling dorong berganti dengan saling lempar batu antar para demonstran dan polisi. Daming tetap berada di barisan terdepan. Keringat yang menetes dikeningnya memerah karena bercampur dengan darah. Kepalanya terluka. Sayup-sayup suara pemuda diatas mobil sampai ketelinganya,”Jangan mundur! Maju ! Terus lawan ! Jangan biarkan perjuangan kita hari ini dipatahkan oleh anjing-anjing para penguasa”.  Semangat Daming kembali bergelora.  Darah yang mengucur dipandangnya sebagai bahan bakar semangat juangnya. Ia bangkit, mengambil batu lalu melemparkannya kearah polisi. Satu polisi terjatuh terkena lemparannya. Sebuah batu lagi telah berada dalam genggamannya. Tiba-tiba saja gas air mata yang ditembakkan para polisi jatuh tepat didepannya. Daming berusaha beratahan, namun ia tak mampu. Kali ini ia terjatuh hampir pingsan. Setiap hari ia memang terbisa dengan udara yang tak sedap dari sampah. Akan tetapi, udara yang telah bercampur dengan gas air mata tak mampu ditahannya. Beberapa demonstran menggotongnya kebarisan belakang. Daming hampir menangis karena sudah tak mampu berada dibarisan depan perjuangan.
Aksi demonstran semakin tak terkendali. Kericuhan semakin menjadi-jadi. Untuk meredakan kericuhan, Gubernur mengizinkan perwakilan demonstran menemuinya. Beberapa orang mahasiswa termasuk pemuda diatas mobil dipanggil masuk kedalam kantor Gubernur. Tak lama kemudian mereka keluar dari kantor Gubernur dengan senyum yang mengembang. “Tuntutan kita akan segera dipenuhi,” ujar pemuda diatas mobil dihadapan demonstran. “Sekarang kita harus kembali. Perubahan akan segera terjadi. Rakyat kecil akan disejahterakan. ” tambahnya.
Masa aksi pun membubarkan diri. Daming kembali kerumahnya. Istrinya kaget melihat Daming pulang bersimbah darah. Daming menjelaskan dengan senyum merekah. Hari ini ia turut ambil bagian dalam perjuangan yang akan membawa perubahan bagi kehidupan mereka dan seluruh rakyat negeri ini. Perjuangan mereka berhasil. Istri Daming mendengarkan dengan penuh antusias , bahkan sekali-sekali terlihat senyuman menghiasi bibirnya. Daming gembira.
Esoknya Daming menyambut pagi dengan rasa optimis. Kehidupannya akan segera berubah menjadi sejahtera . Ia sangat percaya dengan kata-kata pemuda diatas mobil itu. Senyum dibibirnya tak pernah pupus walau sekejap mata.
Hari demi hari terus berganti. Daming tetap melakoni pekerjaannya sebagai pemulung, bergumul dengan sampah-sampah kota. Senyum optimis dibibirnya kian pudar terkikis oleh debu jalanan. Sementara jalanan kini ramai oleh spanduk-spanduk dengan gambar orang berjas dan berpeci bertuliskan segala janji-janji kosong. Ditiap sudut kota tak luput dari pamflet serupa tertempel disembarang tempat bahkan di WC umum sekalipun.  Tak lama lagi pesta demokrasi akan segera digelar untuk memilih gubernur baru.
Gubernur yang lama kembali mencalonkan diri. Spanduk dan pamfletnya memenuhi seluruh kota mengalahkan semua iklan dari produk ternama. Bendera partainya berjejer dijalanan bak umbul-umbul lebih ramai dari acara 17 Agustus. Slogan dan visi misinya menggema lebih keras dibandingkan kumandang azan di masjid-masjid, “Pemimpin Amanah yang Merakyat, Bebas Korupsi !!!”.
Daming muak dengan pemandangan kota seperti itu. Ia duduk bersandar pada sebatang pohon ditepi jalan membiarkan tubuhnya dibelai oleh lembutnya angin. Karung yang biasa berada dipunggungnya tergeletak disampingnya, hanya terisi oleh beberapa botol bekas air mineral. Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang. Ia menoleh. Ternyata temannya sesama pemulung, “Sini ikut saya ke alun-alun. Disana ada kampanye calon gubernur.”  Tanpa menunggu jawaban Daming, pemulung itu berlalu. Daming segera mengikutinya.
Alun-alun kota telah dipadati oleh ribuan orang. Ditengah alun-alun berdiri panggung yang sangat besar dan megah. Gubernur lama yang kini kembali mencalonkan diri duduk diatas panggung dikelilingi oleh Tim Kampanyenya.  Daming sama sekali tak peduli dengan acara kampanye itu. Telinganya tertutup dari teriakan-teriakan yel-yel sang calon gebernur. Matanya hanya terfokus pada botol bekas air mineral yang dibuang sembarangan oleh peserta kampanye. “ Rejeki ”, pikirnya. Seketika ia dan temannya sibuk memunguti botol -botol  yang berserakan itu. Samar-samar telinganya menangkap suara yang  dikenalnya. Suara pemuda diatas mobil yang dahulu berdemonstrasi menuntut agar Gubernur segera ditangkap. Ia berhenti sejenak memusatkan pendengaran pada suara itu.  Tak salah. Itu memang suara pemuda yang sangat dipercayanya. “Pilih nomor 1 ! Sosok pemimpin yang terbukti amanah. Bebas dari Korupsi serta mengutamakan kepentingan rakyat. Jika beliau terpilih, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan rumah susun untuk rakyat kecil akan dibangunnya. Semua itu demi kepentingan rakyat semata”.
Daming mendekat kepanggung. Ia tak percaya. Pemuda yang dahulu begitu berapi-api menuntut Gubernur, kini malah berkampanye agar Gubernur lama kembali menjabat. Ia memusatkan segala perhatiannya diatas panggung. Mendengarkan segala perkataan pemuda itu. Gemuruh tepuk tangan menggema setelah pemuda itu selesai berbicara. “Nomor 1 ! Lanjutkan ! Nomor 1 ! Lanjutkan !” Sorak peserta kampanye.
Peserta kampanye semakin bersorak ketika salah satu penyanyi  dangdut terkenal tampil membawakan sebuah lagu. Apa lagi pakaian artis itu begitu terbuka. Rok mini dengan baju yang tak dapat menutupi seluruh dadanya. Serentak peserta kampanye melongo, namun segera berjoget ketika musik dimainkan.
Daming tak ikut berjoget. Ia hanya penasaran pada pemuda itu. Ia masih tak percaya pada apa yang dilihat dan didengarnya. Ia semakin mendekat kearah panggung. Matanya tak berkedip ketika Gubernur lama berjabat tangan dengan pemuda diatas mobil itu, saling merangkul.  Beberapa saat kemudian pandangannya kabur. Ingatan tentang demonstrasi dahulu berkelabat dikepalanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika Gubernur lama memasukkan seikat uang seratus ribuan kedalam saku jaket pemuda  itu. Kepercayaannya pada pemuda itu telah dicabik-cabik. “Politik anjing !!!” makinya dalam hati. Luka dikepalanya telah lama sembuh meninggalkan bekas memanjang, namun luka dihatinya kini menganga lebih dalam lagi tersayat oleh belati politik.
Tikus-Tikus Berpeci yang Mengaku Suci akan selalu Menguasai Negeri !!!

Kendari, 26 November 2016
S. D. R

Share on Google Plus

About PELOPOR LITERASI (PELITA)

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar