KETIKA KEBHINNEKAAN HANYA SEKEDAR KATA DAN PANCASILA HANYA ILUSI


Tujuh belas Agustus 1945 bendera pusaka berkibar di sepanjang nusantara. Kibarnya mewakili keberanian dan tulusnya jiwa putra-putri bangsa untuk sepenggal kata merdeka. Angkara digugat, di injak sampai binasa. Dikorbankannya harta benda bahkan tanpa setitik ragu di dada, dikorbankannya jiwa dan raga demi Indonesia. Beribu pulau, beragam suku dan bermacam budaya disatukan dalam BHINNEKA TUNGGAL IKA. Maka muncullah nama Indonesia dimata dunia sebagai negara merdeka yang bersatu meski berbeda.

“dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia” bagian naskah di atas kertas sebagai dasar negara. Beragam sudut pandang yang tercipta dari berjuta kepala. Sebagian menafsir berdasarkan kepentingan dan iming-iming dunia. Sebagian lagi menerjemahkan demi cita-cita bangsa. Terserah bagaimana logika mereka bekerja, asal keadilan di tanah pertiwi tetap merata. Kaya dan miskin dianggap sama. Kaya dan miskin hanya berbeda karena penghasilan yang tak sama. Tidak menjadikan setiap tutur dan kata si kaya dianggap sabda yang mesti didengar sepenuhnya, dan tidak pula menjadikan si miskin dipandang hina dan nista. Agar janji merdeka bukan sekedar retorika, dan Pancasila bukan sekedar formalitas saat upacara, maka wujudkan bagi kami utuhnya Pancasila. Bukan terwujud seperlunya namun terabaikan selebihnya.

Ketika seorang  lanjut usia terseret dalam kasus pidana. Dituntut dan dihukum melebihi kemampuan usianya yang sudah renta. Rp.15.000.000.- mungkin ringan bagi mereka yang berpunya. Namun begitu berat bagi Hasnah dengan usianya yang tidak lagi muda, bahkan untuk melangkah ke meja sidang berat baginya, apalagi harus membayar jutaan rupiah sebagai denda. Mau dapat dari mana, demikian mungkin sang nenek akan bertanya Sementara bagi mereka yang mengenakan lencana, dengan garuda berkilau di sisi kiri dada mereka dapat menikmati sejuknya hawa penjara kala merampas uang rakyat yang harusnya dijaga. Selepas dari kamar hotel yang diselubungi topeng penjara, masih terlintas pikiran untuk mengulangi kesalahan yang sama karena hukuman bagi mereka tidaklah mencekam dan membuat jera. Lalu di mana keagungan Pancasila.

Hari kesaktian Pancasila diperingati tiap tahunnya. Meski tameng yang kokoh tak lagi menggantung di dadanya, meski sebagian sila telah terselubung oleh kepentingan penguasa. Pancasila berpaling entah ke arah mana, ke mana perginya kala ketidakadilan mendera, ataukah garuda perlambang bangsa memang tak pernah nyata. Bertanya pada penegak keadilan maka yang dijumpai hanya tanda tanya. Miskin atau kaya makna tersirat pada dialog bagian pertama. Bahkan jawaban tentang tanya tak pernah di jumpai hanya karena strata.

Kini situasi kembali harus bergelora. Rakyat harus kejalan untuk bersuara. Menuntut keadilan pada negara menuntut sanksi bagi pendosa yang telah menjadikan kitab dari suatu agama seolah nista. Lalu bagaimana elit politik berbicara. “islam kok begitu, yang ngajarin siapa?”. Mereka hanya berbicara mewakili kepentingan akan tahta, tentang omongan yang tak bermakna. Katanya stabilitas negara harus dijaga, lalu bagaimana dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?. apakah Pancasila hanya bualan pelengkap formalitas negara saja? apakah negara hanya hak milik penguasa? Ataukah mereka telah lupa bahwa rakyat sebab adanya negara dan penguasa? lupakah ia yang dipilih oleh berjuta kepala bahwa cita-cita rakyat dititipkan padanya? Tidakkah ia ingat suara rakyat adalah suara yang harus didengar setelah Tuhan dalam firman dan Rasul dalam sabdanya.

Mungkin penguasa telah tuli dan buta, rakyat harus berteriak sekuat semampu mereka, dan agar nampak oleh mata penguasa, maka rakyat harus banjiri ibukota. Dan jika mereka tidak tuli dan buta maka palu keadilan akan bersuara, mengadili seorang penista yang telanjangi sang garuda, nodai 5 dasar negara yang di aminkan rakyat Indonesia, bukan malah membela dengan retorika yang membuat rakyat makin murka.

Kendari 4 November 2016
Ahwan HAK


Share on Google Plus

About PELOPOR LITERASI (PELITA)

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar