Kaderisasi PELITA Generasi Pertama @PuncakAmarilis |
berjalan menanjak menapaki
langkah demi langkah menerobos pengap dan riuhnya suasana kota, mencoba mencari
sunyi dalam bising yang mengganggu detakan jarum jam yang terus berputar dengan
tempo yang monoton. Mulanya hanya menuruti kata jiwa muda yang gila dan liar yang
haus akan tantangan untuk menaklukkan puncak demi puncak yang masih asing, dan
tantangan pendakian hanya bagian kecil dari cerita Jumat malam di puncak Amarilis.
Perjalanan malam itu dimulai pada
pukul 19.00 WITA bersama 19 pemuda gila lainnya yang akan kami buat lebih gila
dari malam itu. Kami yang terlebih dulu gila, berupaya meluluh lantakkan budaya
yang telah lama terbangun dan dan mengakar di kalangan pemuda di kota ini,
membasmi kebiasaan lama yang jauh dari budaya akademik, dan merangkul mereka
dalam lingkaran kecil yang akan terus membesar serta menyebarkan budaya kritis
dan inovatif.
Tiada terasa perjalanan menanjak
berhasil dilalui dengan suka cita, dengan guyonan yang tiada henti di sepanjang
perjalanan serta gelak tawa yang memecahkan sunyi dan gelapnya malam, hingga
sampai pada sebuah hamparan luas di puncak tertinggi kota ini. Baju kering di
badan seolah hanya omong kosong belaka betapa tidak, setelah beristirahat di
puncak kami baru menyadari bahwa semua pakaian kami telah basah oleh cairan
dengan bau yang aneh, entah hanya sekedar keringat atau air liur yang tiada
henti di lontarkan oleh mulut yang terbahak di sepanjang perjalanan.
Dalam perjalanan dengan
penerangan seadanya, tidak terlupakan untuk memunguti ranting dan dahan pohon
yang mati untuk membuat api unggun sebagai sumber kehidupan di alam. Singkat
cerita alas seadanya telah terhampar dan api unggun telah berkobar hangatkan
suasana serta panci penuh terisi air untuk menyeduh Mi instan dan kopi hitam
telah mengepulkan asap putih dari sela-sela antara panci dan penutupnya
menciptakan kebahagiaan baru bagi perut mereka yang sejak di perjalanan
mengiringi langkah kami dengan musik keroncong yang kian bersahut-sahutan dari
satu perut dengan perut yang lainnya.
Logika tanpa logistik katanya
anarkis ibaratnya memaksa mesin untuk bekerja tanpa setetes bahan bakar itu
rusak, bukan mesinnya tapi mental orang yang mengoperasikan mesin tersebut.
Berdasar dari pernyataan itu riak air yang menari indah dalam wadah aluminium
diatas kobaran api sontak menjadi sasaran. Tanpa berpikir panjang panci berisi
air panas semakin sesak di jejali 15 bungkus Mi instan untuk mencegah tindakan
anarkis 19 macan putih yang mulai menggila akibat keterbatasan logistik. Dan
tahukah anda selayaknya seekor macan mi instan dengan kuah mendidih lunas
dilahap menggunakan tangan kosong (tidak menggunakan sendok) seperti atraksi
debus mencelupkan tangan ke dalam air mendidih.
Namun sebuah kesukuran karena makanan instan dengan harga termurah yang
bisa kami bayar berhasil membungkam gaung musik keroncong yang menjadi bagian
menyebab pencemaran suara di tengah hutan.
Gaung kelaparan telah dibungkam
logikapun mulai aktif kembali dan aktivitas malam itu dapat berlanjut. Isu awal
yang kami injeksikan di kepala mereka hanya sekedar jalan-jalan biasa sekedar
lari dari rutinitas kota yang ramai dengan hirup pikuk yang setiap saat mendera
kepala mereka, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut kepada orang-orang yang kami
pilih sebagai orang yang akan menjaga pelita perubahan agar tetap menyala dan
terus menyebarkan cahaya, menerangi jalan pemuda-pemuda yang terjebak dalam
belenggu sempitnya pemahaman itu akan agenda kaderisasi yang kami rencanakan.
Sekitar pukul 21.00 WITA salah
seorang di antara dewan pembina komunitas PELITA mulai mengambil alih kegiatan
malam itu. Seluruh anggota rombongan diminta merapatkan barisan melingkari api
unggun yang berkobar. Nampak jelas tanda tanya di wajah mereka, “ada apaka ini?
Sakira Cuma jalan-jalan biasaji” begitulah kira kira kata yang di tampakkan
wajah mereka jika saja wajah mereka adalah layar monitor berisi teks berjalan.
Namun tetap tanpa penjelasan yang detail kegiatan dimulai dengan permainan
logika sederhana dengan dalih agar waktu rekreasi tidak sia-sia.
Salam pembuka dan pengantar
secukupnya sembari membawa sebuah benda ajaib yang tidak diketahui namanya
pembina yang mengambil posisi fasilitator melanjutkan kegiatan. “jadi di tangan
saya ada sebuah benda berkaki tiga berbentuk menara segi tiga, nah di sini saya
meminta kreativitas orang-orang dalam lingkaran ini secara estafet untuk
mengimajinasikan benda ini diluar fungsi sebenarnya, misalnya saja, ketika kaki
segitiga ini saya lipat, dapat menjadi senjata laras panjang yang mematikan,
tapi ingat tidak boleh ada nama dan fungsi alat yang di ulangi oleh orang
berikutnya, saya beri waktu satu menit untuk berpikir sebelum estafet di mulai”.
Menara segi tiga setinggi 1 meter
itu diletakkan di tengah-tengah lingkaran malam itu dengan imajinasi peserta
yang mulai tergiring untuk beraksi. Dan benda malang itu seolah-olah
bertanya-tanya pada orang-orang dalam lingkaran itu “siapa aku bagimu, tapi
terserah bagaimana aku di matamu, dan nilailah aku sepuas hatimu”, hanya
terlintas di benakku “sungguh benda yang malang, ia tidak mengetahui jati
dirinya yang sesungguhnya”.
Satu menit telah berlalu, satu
persatu pemuda tampan dalam lingkaran tersebut menghampiri benda yang lupa diri
itu dan memberikan penjelasan seenak jidat mereka tentang siapa benda malang
yang terombang-ambing tersebut. Ada yang menyatakan bahwa benda itu adalah
tongkat selfie, tangga, penjolok mangga, pedang untuk berjihad, teropong
bintang, bahkan sampai kampak sekalipun. Suatu kebanggaanku pribadi pada
orang-orang yang kami pilih sebagai penerus, karena logika mereka tidak pernah
mati untuk menganalogikan satu benda sederhana sekalipun.
Setelah usai dalam menggali
imajinasi awal mereka maka kegiatan dilanjutkan dengan kegiatan bernama
“Masalah tidak terduga” dengan tema awal “Masalah”. Pada kegiatan itu, peserta pertama
diharuskan berimajinasi dan mengeluarkan pernyataan berupa penjelasan tentang
tema awal dalam waktu hanya 1 menit, kemudian kalimat terakhir dari penjelasan
orang pertama menjadi tema baru untuk orang berikutnya, dan begitu seterusnya
hingga estafet penjelasan mereka di hentikan ketika putaran ketiga telah usai
dan kembali pada orang pertama untuk menyimpulkan pernyataan seluruh peserta
dalam lingkaran. Setelah putaran itu selesai, penguatan tentang orang-orang
yang kami pilih kini semakin meningkat berdasarkan skill individu mereka, namun
masih menyisakan tanda tanya, bagaimana kemampuan mereka dalam kerja sama tim?
Dan keraguanku kembali terpatahkan pada hasil akhir kegiatan ketiga.
Siapa yang salah? Nama kegiatan
selanjutnya yang bertujuan untuk menguji kemampuan mereka dalam kerja sama tim.
Saat itu peserta di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan tanggung jawab untuk
mempertahankan kelompoknya dari tudingan kelompok yang lain sebagai penyebab
dari permasalahan yang dilontarkan oleh fasilitator. Kelompok pertama
diposisikan sebagai pemerintah, kelompok kedua sebagai guru, kelompok ketiga
sebagai siswa, serta kelompok terakhir sebagai orang tua murid dan isunya
adalah bobroknya kondisi pendidikan di negeri ini dengan salah seorang pembina
PELITA sebagai fasilitator sekaligus moderator agar debat tetap pada koridor
yang tepat.
Pemerintah: “kami sudah membuat aturan yang bijaksana mulai dari
pengelolaan kurikulum, sampai pada peningkatan kesejahteraan guru, tapi
hasilnya apa? Peningkatan kesejahteraan guru ternyata tidak sebanding dengan
peningkatan kinerja guru yang bersangkutan, jadi kalau kondisi pendidikan masih
bobrok jangan salahkan pemerintah, tapi salahkan gurunya!”
Guru: “pemerintah
memang telah merasa diri membuat peraturan yang bijak dan menyejahterakan guru
dengan tunjangan profesionalisme guru, namun aturan penyejahteraan itu malah
menyulitkan bagi kami para guru, betapa tidak untuk memperoleh hak kami sebagai
guru, kami harus diperhadapkan dengan tuntutan administrasi yang begitu
berbelit-belit bahkan untuk pengurusannya kami terpaksa mengorbankan hak-hak
siswa demi memperoleh hak kami. Namun ketika kami mengorbankan hak siswa maka
kampiun disoroti oleh orang tua siswa, jadi harusnya kalau pemerintah ingin
menyejahterakan kami tidak usah dipersulit karena itu memang hak kami. Perlu
juga bagi orang tua sadari bahwa kami hanya mendidik siswa sekitar 6 jam dalam
sehari, dan selebihnya waktu dirumah harusnya orang tualah yang berperan penuh
untuk mendidik anaknya, jangan seenak hati saja menyalahkan kami para pendidik
atas kebobrokan moral anaknya”.
Orang tua: “para guru yang
terhormat, kami para orang tua sudah menitipkan anak kami untuk didik di
sekolah supaya cerdas, tapi kenyataannya malah anak kami semakin bandel bahkan
berani melawan orang tua, mungkin memang contoh buruk yang di ajarkan di
sekolah, mungkin siswa memang diajar untuk melawan orang tua, liat gurunya
merokok mereka juga sudah mulai ikut-ikutan merokok. Ini juga anak, di harap ke
sekolah belajar supaya cerdas, malah tambah rusak bahkan sudah berani melawan
dan menipu orang tua, kami setengah mati cari biaya biar mereka bisa tetap
sekolah tapi usaha kami tidak dianggap. Pemerintah juga, katanya pendidikan
gratis tapi kenapa kami orang tua harus keluar biaya ini itu, tolonglah
pemerintah juga harus perhatikan nasi kami para orang tua yang tidak semuanya
sejahtera, kalau pendidikan gratis, supaya betul-betul di gratiskan”.
Siswa: “kamikan
ibaratnya hanya wadah kosong, tergantung apa yang di ajarkan guru dan orang tua
kalau baik, kami juga baik tapi kalau yang di ajarkan buruk, maka rusaklah
kami, ditambah lagi dengan kurikulum yang terus-menerus berubah-ubah bukan
menjadikan tambah cerdas, malah menjadi tambah bingung”.
Ke empat kelompok tersebut saling
mendebat sampai sekitar dua jam hingga akhirnya fasilitator angkat bicara.
“Jadi di sini tidak ada yang salah, yang salah itu kalau ke empat elemen ini
saling menyalahkan, dan yang terpenting adalah bagaimana ke empat elemen ini
saling bersinergi menciptakan generasi bangsa yang cerdas spiritual maupun
intelektual”.
Kegiatan ke tiga berakhir dengan
meriahnya tepuk tangan dari para peserta dan guyonan saling menyalahkan yang
terus menghiasi tiap pembicaraan, hingga fasilitator mengacak kembali kelompok
mereka menjadi 5 kelompok yang lebih kecil. Pemerintah, guru, orang tua siswa
dan siswa di acak dalam tiap-tiap kelompok agar debat sebelumnya tidak
mempengaruhi diskusi untuk kegiatan “Nyambung nggak nyambung harus nyambung”.
Pada kegiatan terakhir yang
dilaksanakan ini setiap kelompok dipersilahkan untuk memilik amplop berisi 2
kata yang tidak berkaitan kemudian setiap kelompok diminta untuk berdiskusi dan
membuat minimal 2 paragraf dalam 30 menit dan menjadikan dua kata yang tidak
berhubungan tersebut memiliki makna yang padu. Walhasil tema pejabat dan batu
karang berhasil menjadi tulisan berupa kritik sosial, begitupula dengan tema
guru dan sapi. Tema daun dan pena berhasil menjadi sebuah puisi cinta yang
syahdu. Tema buku dan korek api meciptakan naskah motivasi bahwa pendidikan
adalah penunjuk jalan yang terang dalam kehidupan umat manusia. Serta tema pembunuh
bayaran dan cinta sebagai ironi yang timbul akibat adanya kesenjangan ekonomi
dalam lingkungan sosial yang memberi celah bagi seseorang yang penuh cinta
menjadi seorang pembunuh.
Aku dan kedua pembina komunitas
PELITA yang lain merasa kagum akan imajinasi individu maupun kemampuan kerja
sama tim mereka, dan kami merasa lega karena kami telah memilih orang yang
tepat sebagai pemegang tongkat estafet PELITA berikutnya.
“teruslah menuju tempat yang
lebih tinggi karena dari ketinggian maka jarak pandang akan semakin meluas dan
logika akan semakin tinggi melayang, dan hal itulah yang menjadikan kita
semakin bijak dalam memandang sesuatu yang berada jauh di bawah sana”
Kendari 27 November 2016
Ahwan H.A.K
Setuju dengan orang tua siswa, "Jika pendidikan memang gratis supaya benar-benar digratiskan".
BalasHapusYang nenjadi pertanyaan saya adalah apakah menara segi tiga yg setinggi satu meter itu tdak terbakar, apalilah di letakkan ditengah-tengah lingkran macan putih tersebut bersamaan dengan api unggun yang sebelumnya memang sudah ada di tengah-tengah lingkaran tersebut,,,???
Terkadang tulisan menyimpan makna yang tidak dapat ditafsir secara keseluruhan oleh pembacanya, maka menulislah kawan karna karya tak terbatas dan imajinasi takpernah mati
BalasHapusTerkadang tulisan menyimpan makna yang tidak dapat ditafsir secara keseluruhan oleh pembacanya, maka menulislah kawan karna karya tak terbatas dan imajinasi takpernah mati
BalasHapus